Pop ads

Kamis, 12 Januari 2017

contoh features - features mata kuliah repoerting, writing & editing



BOCAH JADI DOSEN

Jufrizal, bocah kelahiran Meurdu, 26 Juni 1985, Pidie Jaya. Bocah sulung dari tiga bersaudara. Putra dari pasangan Muhammad Daud dengan Rosinah, ayahandanya yang berprofesi sebagai pedagang dan ibunda seorang ibu rumah tangga.
Bocah yang pernah menempuh pendidikan di Taman Kanak-kanak Bungoeng Seulanga dan melanjutkan pendidikan sekolah dasar di SDN 5 Meurdu,  sekolah yang menjadi favorit bagi siswa di setempat. Disinilah dimulai awal kisah yang paling mengesankan bagi bocah sulung ini. Jufrizal bukanlah seorang bocah yang pintar didalam kelas, terbukti semenjak dia duduk dibangku kelas satu sampai kelas tiga dia tidak bisa membaca dan menulis.
Jufrizal memiliki tiga saudara yang selalu bersama-sama, dan mereka ini tak ingin dipisahkan, bahkan dalam kelas pun harus duduk sebangku berempat. Bak petir di siang bolong salah satu dari mereka, ketika guru menyuruh maju kedepan untuk membaca huruf abjad di papan tulis, sesampai di depan kelas dia tidak membaca melainkan hanya mengetuk papannya saja seperti guru lakukan sebelumnya. “alhamdulillah, untung tidak saya yang kena maju kedepan” ujar Jufrizal dalam hati sambil menghela nafas lega. Suatu ketika guru menyuruh semua siswa untuk menulis di buku yang di diktekan oleh guru. Siswa lainnya mulai menulis di buku masing-masing. Melainkan dengan Jufrizal, dia tidak tahu harus menulis apa, kemudian dia  hanya berpura-pura menulis saja. Ketika gurunya melihat ke arah Jufrizal seraya berkata dalam hati “apa Jufrizal sudah pandai menulis ?”. Guru membaca apa yang di tulis oleh Jufrizal, namun ibu guru pun mulai bingung apa yang ditulis Jufrizal. Sangking bagusnya tulisan Jufrizal seperti cakar ayam yang sulit dibaca. Dan seluruh kawan-kawan di ruangan menertawakan dia.
Mulai saat itulah bocah ini sadar dan bangkit. Dia mulai belajar menulis dan membaca dengan serius. Bahkan ia meluangkan waktu istirahatnya untuk membaca dan menulis. Namun saat belajar dia tidak sendiri tapi didampingi oleh gurunya.
Keinginan besar bocah ini untuk berubah menjadi lebih baik, ketika ia meranjak ke jenjang pendidikan sekolah menengah pertama di SMPN 1 Meurdu. Dia sangat tekun belajar, dan alhasil dia mendapatkan juara 3 saat duduk dibangku kelas satu. Namun hal yang tak terbanyangkan terjadi bagi bocah yang meranjak remaja ini. Saat kelas dua dia mendapatkan juara 35 dari 36 siswa, sungguh prestasi yang luar biasa. Hal ini disebabkan karena Jufrizal berada di kelas unggul.
Pada masa SMP merupakan suasana konflik yang parah di Aceh. Perjalanan menuju ke  sekolah Jufrizal harus melewati pos tentara. Perasaan disaat melewati pos tentara, sontak membuat jantung dia “dag dig dug deeeeeerrrrr”.  Dan apalagi ketika terlambat kesekolah ditambah lagi pakaian yang tak rapi harus menghadap tentara yang ada di pos tersebut. Hal ini yang membuat Jufrizal ketakutan ketika melewati pos. Dan ketika melanjutkan sekolah menengah atas dia tidak memilih melanjutkan ke SMA, karena SMA itu bersebelahan dengan SMP, otomatis harus melewati lagi pos tentara tersebut. Namun Jufrizal lebih memilih melanjutkan ke sekolah MAN 2 Sigli. Keadaan  di MAN sangat berbebeda dengan SMA, di SMA siswa-siswanya sangat keren dan gaul berbeda dengan di MAN yang siswanya patuh-patuh dan lugu. Ketika masuk di MAN hal aneh yang terjadi pada jufrizal, dia sering menjadi pusat perhatian bagi siswa lainnya karena ia selalu memakai sepatu berwarna merah yang sangat mencolok dan ditambah lagi dengan gaya rambutnya seperti pemeran di film X-Men.
Masa-masa sewaktu masih duduk dibangku kelas 3 MAN, puberpun mulai tumbuh dalam jiwa Jufrizal, dimana saat itu Jufrizal menaruh hati pada seorang wanita yang mampu meluluhkan hati Jufrizal tanpa berpikir hati-hati dengan hati. Kemudian dengan keberanian yang dimiliki oleh Jufrizal, ia memberanikan diri dengan  mengutarakan perasaannya pada wanita yang ia cintai.
Ketika lulus MAN, Jufrizal berkeinginan melanjutkan keperguruan tinggi yang ada di Aceh. Target pertama yakni Unsyiah, karena menurut dia itu merupakan kampus yang keren. Kala itu dia mengambil prodi hukum dan bahasa inggris, namun disaat mengikuti tes dia kelewatan alias tidak lulus. Begitu pula sama kejadiannya saat tes di IAIN. Hal ini terpaksa membuat dia menepi selama satu tahun. Nah, selama satu tahun dia bekerja di toko saudaranya mengisi waktu nganggurnya. Selama dia menjaga toko, dia merasa masa mudanya terampas begitu saja, karena dia melihat teman-temannya asyik dengan masa mudanya.
Pada tahun berikutnya dia kembali mengikuti tes perguruan tinggi, singkat cerita saat itu dia lulus di IAIN tepatnya di jurusan KPI dibawah naungan Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Pada jurusan ini dia lulus dengan pilihan kedua.
Hari pertama dia memasuki kampus. Dia terkejut karena melihat kakak letingnya yang memakai sorban dan sarung layaknya seperti anak dayah, dia berfikir mungkin untuk kedepannya ia akan menjadi seperti ini pula. Karena merasa tidak sejalan dengan keadaan seperti itu, dia dilanda kegalauan yang sangat luar biasa. Namun  kegalauan tersebut tidaklah bertahan lama pada diri Jufrizal ketika saat itu dia bertemu dengan kakak letingnya yang lain yang bernama bang Roy. Penampilan bang Roy sangat jauh berbeda dengan kakak letting yang pertama dia jumpa. Si Roy yang berpenampilan sederhana dengan rambut panjang yang tidak pernah disisir serta celana sobek dilutut membuat Jufrizal berfikir “kalau seperti inilah gaya gue sebenarnya”.
Ketika memasuki awal perkuliahan Jufrizal dilanda kegelisahan karena dia melihat hampir semua mata kuliah berhubungan dengan agama. Dan ia merasa bahwa disini akan diajarkan cara berdakwah diatas mimbar, karena masih semester satu Jufrizal masih banyak belum tau tentang mata kuliah di jurusan KPI ini. Jufrizal banyak memiliki kawan-kawan dari kakak letting dikampus, dia mulai menanyakan tentang perkuliahan. Ternyata di KPI ini bukan hanya belajar agama, namun belajar tentang komunikasi jurnalistik.
Jalan tak selalu mulus yang dihadapi oleh Jufrizal, yang mana pada semester dua sampai empat dia bekerja bersama saudaranya mengantarkan plastik-plastik di pasar Aceh setiap pagi. Namun, kala itu dia mulai gabung di organisasi Sumber Post. Disitulah dia belajar menulis berbagai karya tulis. Disela-sela itu ia iseng-iseng mengirim sebuah tulisan di media Pantau. Dan tulisan dia diterima oleh media itu. Dan dari situlah ia memiliki gaji Rp. 600.000.00-  dari media Pantau.
Akhirnya dia menyelesaikan sarjananya kurang lebih 5,5 tahun berbagai masalah yang dihadapinya terutama masalah keuangan.
Tak butuh waktu lama untuk menjadi penganggur intelektual. Dia mendapat tawaran dari Dekan Fakultas Dakwah Dan Komunikasi yaitu pak A. Rani untuk kuliah ke Nanchang University salah satu perguruan tinggi di Cina. Dan alhasil dengan berkat kerja keras ia mampu menyelasaikan pasca sarjana di negeri tirai bambu.
Dan sekarang dia menjadi dosen di jurusan KPI. Dia salah satu dosen yang sangat santai saat mengajar, cukup terbuka dengan mahasiswa. Dan kalau boleh jujur kini anda masuk dalam kategori dosen favorit bagi sang penulis.
Inilah sepenggal kisah perjalanan si bocah yang dulu tidak bisa membaca dan menulis. Eh, akhirnya dia jadi salah satu dosen favorit gue.

Jazakumullah khairan katsiran………….