BOCAH JADI DOSEN
Jufrizal,
bocah kelahiran Meurdu, 26 Juni 1985, Pidie Jaya. Bocah sulung dari tiga
bersaudara. Putra dari pasangan Muhammad Daud dengan Rosinah, ayahandanya yang
berprofesi sebagai pedagang dan ibunda seorang ibu rumah tangga.
Bocah
yang pernah menempuh pendidikan di Taman Kanak-kanak Bungoeng Seulanga dan
melanjutkan pendidikan sekolah dasar di SDN 5 Meurdu, sekolah yang menjadi favorit bagi siswa di
setempat. Disinilah dimulai awal kisah yang paling mengesankan bagi bocah
sulung ini. Jufrizal bukanlah seorang bocah yang pintar didalam kelas, terbukti
semenjak dia duduk dibangku kelas satu sampai kelas tiga dia tidak bisa membaca
dan menulis.
Jufrizal
memiliki tiga saudara yang selalu bersama-sama, dan mereka ini tak ingin
dipisahkan, bahkan dalam kelas pun harus duduk sebangku berempat. Bak petir di
siang bolong salah satu dari mereka, ketika guru menyuruh maju kedepan untuk
membaca huruf abjad di papan tulis, sesampai di depan kelas dia tidak membaca
melainkan hanya mengetuk papannya saja seperti guru lakukan sebelumnya. “alhamdulillah, untung tidak saya yang kena
maju kedepan” ujar Jufrizal dalam hati sambil menghela nafas lega. Suatu
ketika guru menyuruh semua siswa untuk menulis di buku yang di diktekan oleh
guru. Siswa lainnya mulai menulis di buku masing-masing. Melainkan dengan
Jufrizal, dia tidak tahu harus menulis apa, kemudian dia hanya berpura-pura menulis saja. Ketika
gurunya melihat ke arah Jufrizal seraya berkata dalam hati “apa Jufrizal sudah pandai menulis ?”. Guru membaca apa yang di
tulis oleh Jufrizal, namun ibu guru pun mulai bingung apa yang ditulis
Jufrizal. Sangking bagusnya tulisan Jufrizal seperti cakar ayam yang sulit dibaca.
Dan seluruh kawan-kawan di ruangan menertawakan dia.
Mulai
saat itulah bocah ini sadar dan bangkit. Dia mulai belajar menulis dan membaca
dengan serius. Bahkan ia meluangkan waktu istirahatnya untuk membaca dan
menulis. Namun saat belajar dia tidak sendiri tapi didampingi oleh gurunya.
Keinginan
besar bocah ini untuk berubah menjadi lebih baik, ketika ia meranjak ke jenjang
pendidikan sekolah menengah pertama di SMPN 1 Meurdu. Dia sangat tekun belajar,
dan alhasil dia mendapatkan juara 3 saat duduk dibangku kelas satu. Namun hal
yang tak terbanyangkan terjadi bagi bocah yang meranjak remaja ini. Saat kelas
dua dia mendapatkan juara 35 dari 36 siswa, sungguh prestasi yang luar biasa.
Hal ini disebabkan karena Jufrizal berada di kelas unggul.
Pada
masa SMP merupakan suasana konflik yang parah di Aceh. Perjalanan menuju
ke sekolah Jufrizal harus melewati pos
tentara. Perasaan disaat melewati pos tentara, sontak membuat jantung dia “dag dig dug deeeeeerrrrr”. Dan apalagi ketika terlambat kesekolah ditambah
lagi pakaian yang tak rapi harus menghadap tentara yang ada di pos tersebut.
Hal ini yang membuat Jufrizal ketakutan ketika melewati pos. Dan ketika
melanjutkan sekolah menengah atas dia tidak memilih melanjutkan ke SMA, karena
SMA itu bersebelahan dengan SMP, otomatis harus melewati lagi pos tentara
tersebut. Namun Jufrizal lebih memilih melanjutkan ke sekolah MAN 2 Sigli.
Keadaan di MAN sangat berbebeda dengan
SMA, di SMA siswa-siswanya sangat keren dan gaul berbeda dengan di MAN yang
siswanya patuh-patuh dan lugu. Ketika masuk di MAN hal aneh yang terjadi pada
jufrizal, dia sering menjadi pusat perhatian bagi siswa lainnya karena ia
selalu memakai sepatu berwarna merah yang sangat mencolok dan ditambah lagi
dengan gaya rambutnya seperti pemeran di film X-Men.
Masa-masa
sewaktu masih duduk dibangku kelas 3 MAN, puberpun mulai tumbuh dalam jiwa Jufrizal,
dimana saat itu Jufrizal menaruh hati pada seorang wanita yang mampu meluluhkan
hati Jufrizal tanpa berpikir hati-hati dengan hati. Kemudian dengan keberanian
yang dimiliki oleh Jufrizal, ia memberanikan diri dengan mengutarakan perasaannya pada wanita yang ia
cintai.
Ketika
lulus MAN, Jufrizal berkeinginan melanjutkan keperguruan tinggi yang ada di
Aceh. Target pertama yakni Unsyiah, karena menurut dia itu merupakan kampus
yang keren. Kala itu dia mengambil prodi hukum dan bahasa inggris, namun disaat
mengikuti tes dia kelewatan alias tidak lulus. Begitu pula sama kejadiannya
saat tes di IAIN. Hal ini terpaksa membuat dia menepi selama satu tahun. Nah,
selama satu tahun dia bekerja di toko saudaranya mengisi waktu nganggurnya.
Selama dia menjaga toko, dia merasa masa mudanya terampas begitu saja, karena
dia melihat teman-temannya asyik dengan masa mudanya.
Pada
tahun berikutnya dia kembali mengikuti tes perguruan tinggi, singkat cerita saat
itu dia lulus di IAIN tepatnya di jurusan KPI dibawah naungan Fakultas Dakwah
dan Komunikasi. Pada jurusan ini dia lulus dengan pilihan kedua.
Hari
pertama dia memasuki kampus. Dia terkejut karena melihat kakak letingnya yang
memakai sorban dan sarung layaknya seperti anak dayah, dia berfikir mungkin
untuk kedepannya ia akan menjadi seperti ini pula. Karena merasa tidak sejalan
dengan keadaan seperti itu, dia dilanda kegalauan yang sangat luar biasa. Namun kegalauan tersebut tidaklah bertahan lama
pada diri Jufrizal ketika saat itu dia bertemu dengan kakak letingnya yang lain
yang bernama bang Roy. Penampilan bang Roy sangat jauh berbeda dengan kakak
letting yang pertama dia jumpa. Si Roy yang berpenampilan sederhana dengan
rambut panjang yang tidak pernah disisir serta celana sobek dilutut membuat
Jufrizal berfikir “kalau seperti inilah
gaya gue sebenarnya”.
Ketika
memasuki awal perkuliahan Jufrizal dilanda kegelisahan karena dia melihat
hampir semua mata kuliah berhubungan dengan agama. Dan ia merasa bahwa disini
akan diajarkan cara berdakwah diatas mimbar, karena masih semester satu
Jufrizal masih banyak belum tau tentang mata kuliah di jurusan KPI ini.
Jufrizal banyak memiliki kawan-kawan dari kakak letting dikampus, dia mulai
menanyakan tentang perkuliahan. Ternyata di KPI ini bukan hanya belajar agama,
namun belajar tentang komunikasi jurnalistik.
Jalan
tak selalu mulus yang dihadapi oleh Jufrizal, yang mana pada semester dua
sampai empat dia bekerja bersama saudaranya mengantarkan plastik-plastik di
pasar Aceh setiap pagi. Namun, kala itu dia mulai gabung di organisasi Sumber
Post. Disitulah dia belajar menulis berbagai karya tulis. Disela-sela itu ia
iseng-iseng mengirim sebuah tulisan di media Pantau. Dan tulisan dia diterima
oleh media itu. Dan dari situlah ia memiliki gaji Rp. 600.000.00- dari media Pantau.
Akhirnya
dia menyelesaikan sarjananya kurang lebih 5,5 tahun berbagai masalah yang
dihadapinya terutama masalah keuangan.
Tak
butuh waktu lama untuk menjadi penganggur intelektual. Dia mendapat tawaran
dari Dekan Fakultas Dakwah Dan Komunikasi yaitu pak A. Rani untuk kuliah ke
Nanchang University salah satu perguruan tinggi di Cina. Dan alhasil dengan
berkat kerja keras ia mampu menyelasaikan pasca sarjana di negeri tirai bambu.
Dan
sekarang dia menjadi dosen di jurusan KPI. Dia salah satu dosen yang sangat
santai saat mengajar, cukup terbuka dengan mahasiswa. Dan kalau boleh jujur
kini anda masuk dalam kategori dosen favorit bagi sang penulis.
Inilah
sepenggal kisah perjalanan si bocah yang dulu tidak bisa membaca dan menulis.
Eh, akhirnya dia jadi salah satu dosen favorit gue.
Jazakumullah
khairan katsiran………….